Kamis, 10 Oktober 2013

(Dibuang Sayang) Senja di Borneo

            “Bu, kenapa langit senja selalu tampak indah?”
            “Karena ini senja di Borneo.”

***
            Hari ini, aku bangun lebih pagi. Melawan dinginnya semilir angin yang merasuk dan bergegas menuju tambak ikan. Aku telah berjanji padanya untuk pergi menjaga tambak bersama.
            “Tius, apa hari ini giliranmu yang menjaga tambak?” tanyaku saat mendapati Tius tengah duduk-duduk dipinggir tambak.
            “Iya, Bu…” jawabnya singkat.
            Matius atau yang akrab dipanggil Tius adalah anak dari orangtua asuhku selama di Kalimantan. Ya, aku sedang menjalankan tugas sebagai asisten konsultan sebuah perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan. Dua bulan lalu, saat pertama kali aku menginjakkan kaki di Desa Labuangkalo, Tius adalah orang pertama yang membantuku untuk membawa ransel dan barang bawaan lainnya.
            Tius, bocah kecil dengan kulit coklat tersengat sinar matahari ini, kini menatap kosong hamparan air tambak didepannya. Tak biasanya ia seperti ini.
            “Tius, kamu kenapa?” tanyaku penasaran.
            “Pak Guru Saidi pulang ke Jawa. Tidak ada lagi guru disekolah kami, Bu.” ucapnya pelan.
            “Pak Guru Saidi?”
            “…” Tius hanya menatapku tanpa ucap.


***
            Pak Guru Saidi adalah satu-satunya guru yang mengajar di Sekolah Darurat Desa Labuangkalo. Aku berkenalan dengannya saat meneliti keadaan hutan Desa Labuangkalo, tepat dibelakang Sekolah Darurat. Menurut Tius, Pak Guru Saidi sudah mengajar di Sekolah Darurat jauh sebelum aku datang kesini.
            “Pak Guru Saidi orang pertama yang  mengajari saya membaca, Bu. Kalau Pak Guru Saidi pulang ke Jawa, siapa yang akan mengajari saya dan teman-teman membaca dan menghitung?” ucapTius polos.
            Dari tatapan mata Tius, aku mampu menangkap semangatnya untuk belajar yang besar. Apalagi setiap hari, kulihat Tius rajin memanaskan setrika arang. Ia menggosokkan setrika arang ke seragam kumalnya dengan deru nafas penuh semangat.
            “Tius, mau kemana? Kok pagi-pagi sudah menggosok kemeja?” tanyaku saat pertama kali aku melihatnya menggosok baju
            “Sekolah, Bu!” jawab Tius antusias.

***
            “Bu, apa Jawa begitu jauh dari sini?” tanya Tius tiba-tiba.
            “Iya. Total perjalanan empat hari jika ditempuh naik kapal. Tius mau ke Jawa?”
            Tius cepat-cepat menggeleng.
            “Trus, kenapa Tius bertanya seperti itu?”
            “Tius hanya ingin tahu berapa lama perjalanan Pak Guru Saidi jika ingin kembali dari Jawa kesini,” perkataan Tius ini sukses membuatku berlinang air mata.
            Lewat ucapan Tius tadi, tersirat bahwa ia masih mau belajar di Sekolah Darurat itu. Namun apa daya, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku yang selama tujuh jam dalam sehari harus masuk hutan untuk penelitian, tidak sanggup untuk mengajari Tius dan sekitar lima belas anak lainnya untuk belajar di Sekolah Darurat. Aku hanya bisa mengajari Tius saat malam hari, dengan penerangan lampu teplok tentunya.

*** 

            “Maaf, bisa minta tolong tunjukkan rumah Bapak Kepala Desa?” tanya seorang pria berkacamata pada Tius dipinggir tambak.
            “Bapak Kepala Desa? Pak Iro?”tanya Tius balik.
            Aku yang tengah membantu Tius menebar pakan ikan, berjalan mendekati pria itu.
            “Maaf, cari siapa?” tanyaku sopan.
            “Saya mencari Bapak Kepala Desa Labuangkalo. Kata Pak Saidi saya harus minta izin dulu dari beliau jika ingin tinggal didesa ini,” terang pria itu.
            “Pak Guru Saidi?” reaksi Tius saat mendengar nama orang yang telah pulang ke Jawa beberapa bulan lalu itu.
            “Iya, Pak Saidi. Saya datang kemari untuk menggantikan Pak Saidi mengajar di Sekolah Darurat.”
            Tanpa banyak cakap, Tius menarik tangan pria itu. Membawanya menuju rumah Pak Kepala Desa yang terletak tidak jauh dari tambak ikan.

***
            Prasada. Seorang fresh graduate jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar salah satu universitas negeri di Semarang, kini menjadi guru di Sekolah Darurat. Pras, begitu ia kupanggil, merupakan keponakan dari Pak Saidi.
            “Om Saidi pulang karena istrinya sakit-sakitan. Untuk itu, saya yang menggantikan beliau untuk melanjutkan mengajar disini,” ucap Pras saat aku menanyakan alasan Pak Guru Saidi pulang ke Jawa.
            “Hebat. Jarang sekali ada yang mau mengorbankan waktunya untuk sedikit berbagi ilmu diranah luar Jawa,” kataku sambil mengacungkan jempol untuk Pras.
            “Kalau kamu, kenapa bisa sampai Labuangkalo? Ditugaskan jadi guru bantuan juga?”kini Pras yang menanyaiku.
            Aku menggeleng.
            “Saya melakukan penelitian di hutan Desa Labuangkalo,”jawabku singkat. Terlampau singkat bahkan. Mungkin karena Pras merupakan orang baru, aku hanya membuka sedikit celah pertanyaan yang lebih lanjut dengannya.

***

            “Pak, hutan dibelakang Sekolah Darurat kebakaran!”teriakku panik pada Pak Iro, Kepala Desa Labuangkalo.
            “Tidak apa-apa, Bu Arum. Tenang saja,”jawab Pak Iro dengan nada santai.
            “Tenang saja? Apinya bisa menyebar, Pak!”aku semakin kalut.
Bagaimana mungkin seorang Kepala Desa bisa setenang itu melihat hutan didaerahnya terbakar seperti ini?
“Pak!”aku semakin panik.
“Bu Arum, hutan ini sengaja dibakar untuk membuka lahan tambak baru,”ucap Pak Iro enteng.
“Ha?”aku tak percaya akan apa yang dikatakan Pak Iro.                                                        

***

            Aku baru mengetahui kebiasaan masyarakat Desa Labuangkalo, yaitu membakar hutan untuk membuka lahan tambak dari Pras. Ia mengatakan bahwa itu sudah menjadi hal yang biasa, menebang hutan dan membuka lahan tamba baru.
            “Sudah berapa lama kamu penelitian disini?” ejek Pras saat aku kaget mendengar penjelasannya tentang pembakaran hutan tadi.
            “Tapi apakah mereka tidak tahu bahaya dari pembakaran hutan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar