Ini cerita yang pernah aku kirim kesalah satu penerbit
mungkin masih banyak kurang disana-sini
jadi harus kusimpan dalam blogspot
ps. salah satu nama yang digunakan terinspirasi dari
kakak tingkat dikampus
selamat membaca
DO NOT COPY PASTE
ALLOH KNOW EVERYTHING TOU DO^^
Romansa
Pisang Goreng
Langkah kaki ini
terasa berat saat memasuki gerbang sekolahku yang baru. Entah mengapa aku
serasa enggan memasuki tempat ini padahal jam sudah hampir menunjukkan pukul
tujuh tepat. Tatapan mata dari siswa-siswi lain membuatku seakan terintimidasi.
Aku ingin kembali ke ibukota, rontaku dalam hati.
“Ruang kelas XII IPA 1
dimana?”aku menghentikan langkah kaki seorang siswi yang tengah berkutat dengan
buku tebal ditangannya. Ia hanya mendongak lalu memperhatikan penampilanku dari
ujung kepala hingga ujung kakiku.
“Di ujung koridor belok
kanan. Ada papan namanya dipintu,”tanpa berucap terimakasih, aku langsung
menuju tempat yang ia sebutkan.
Mata ini
terbelalak saat melihat ruangan dengan dua puluh meja kayu usang dan empat puluh
satu kursi kayu yang menemani. Beberapa anak sudah siap dengan buku dihadapan
dan sisanya asik mengobrol dengan teman yang duduk didepan mereka. Kujelajahi
tiap sudut ruangan yang disebut dengan kelas ini, untuk mencari sebuah bangku
kosong, tempat aku menghabiskan waktu setahun kedepan. Aku melangkah pelan
diiringi tatapan aneh dari penghuni kelas lainnya, lalu duduk dipojok ruangan.
Suara bel berbunyi nyaring, sedetik kemudian para siswa yang masih berada
diluar dengan tergesa memasuki ruang kelas dan menempati kursi mereka
masing-masing. Seorang yang tadi berkutat dengan bukunyanya dengan langkah
gontai ikut memasuki ruangan ini dan anehnya, ia berjalan menuju tempatku duduk
sekarang.
“Kau yang tadi bertanya,
kan?”ia bertanya saat kedua mata kami saling beradu tatap. Aku pura-pura tidak
dengar, berusaha menyibukkan diri dengan smartphone
yang ada ditanganku. Kulihat dari ujung mata muka kesalnya, namun tak
sedikit kuhiraukan. Ia mendorong kursiku maju kedepan hingga badanku hampir
terjepit kemudian ia masuk dan duduk tepat disampingku. Aku menoleh dan
menatapnya tajam.
“Ngapain Lo duduk
disitu?”
“Ssst, gurunya udah
dateng,”ia tidak menjawab pertanyaanku dan sibuk menata tumpukan buku tebalnya diatas meja. Suasana
yang tadi ramai mendadak hening saat sosok yang kemarin kutemui memasuki
ruangan.
“Assalamu’alaikum
anak-anak,”salam dari Pak Jauhari, Kepala Sekolahku yang baru. Kontan salam
dari Pak Jauhari dijawab oleh seluruh anak yang ada dikelas tak terkecuali
seorang siswi disebelahku.
“Hari ini kita kedatangan
teman baru dari ibukota. Ayo nak Gagar, silahkan memperkenalkan diri
didepan,”Pak Jauhari menunjukku dan terang saja, seluruh perhatian kelas menuju
kearah pojok tempatku duduk. Aku berjalan menuju depan kelas, berdiri disamping
Pak Jauhari.
“Ayo nak, perkenalkan
dirimu dengan teman-teman,”Pak Jauhari menepuk pundakku pelan. Dengan sedikit
keraguan, aku membuka mulut dan mulai berucap.
“Nama gue Gagar, Gagar
Mewasdinta. Gue pindahan dari SMA Bakti Luhur Jakarta. Gue harap gue bisa
diterima disini,”
***
Ya, mau nggak
mau aku harus tinggal dikota kecil ini. Kota yang terletak diantara Jogja dan
Solo, Klaten. Selama 18 tahun hidup di Jakarta, belum pernah sama sekali
mendengar keberadaan kota ini. Baru setelah insiden dua bulan yang lalu, aku mendengarnya.
Nama Klaten terucap dari bibir Mama saat peringatan tujuh hari meninggalnya
Papa. Mama memilih memindahkan aku ke kota kecil ini agar aku lebih konsentrasi
belajar karena kini aku sudah kelas tiga sekolah menengah atas. Meskipun tak
kupungkiri, sempat aku menolak mentah-mentah rencana Mama untuk memindahkan aku
ke Klaten, akhirnya aku menyerah saat melihat Mama tersedu dan memohon padaku
agar aku bisa menurutinya.
“Gagar!”suara yang cukup
asing berhasil membuat langkah kakiku terhenti. Siswi yang duduk disebelahku
tempo hari datang menghampiriku lalu mengulurkan tangannya.
“Khairunisa, tapi
panggil saja Uni,”dengan raut wajah sumringah ia berusaha mengakrabkan diri
denganku. Aku mengernyitkan dahi. Memandang penampilannya dari ujung kepala sampai
ujung kaki sama seperti yang ia lakukan saat aku bertanya ruang kelas. Aku
tidak balas mengulurkan tanganku karena kupikir gadis ini hanya sok cari
perhatian sama seperti gadis-gadis lain dikelas. Ia menarik tanganku dengan
cepat dan mengajakku bersalaman.
“Kalau butuh sesuatu
disini, ndak usah sungkan. Bilang ke
aku saja,”logat jawa yang cukup kental terdengar saat ia berucap. Mungkin ia
asli dari kota kecil ini, pikirku.
“Hm,”aku melepas jabat
tangan kami dan melanjutkan langkah kaki.
***
“Tam, tau ndak? Dikelasku ada anak baru
pindahan dari Jakarta. Wah, orang e
ganteng, putih. Trus mau ki nyatet pake apa itu lho, tipis ngono,”
“Tipis? Laptop
maksudmu?”
“Bukan, kui lho, sing enek gambar apel kecokot,”
“Tipis? Apel kecokot? Owalah smartphone to?”
Saat memasuki ruangan sempit yang
berjejalkan jajanan-jajanan ini, aku mendengar percakapan dua orang siswi
dengan bahasa jawa. Meskipun aku tidak paham apa maksudnya namun aku bisa
menangkap bahwa mereka tengah membicarakan aku.
“Gagar!”suara yang
hampir kuhapal siapa pemiliknya itu terdengar lagi. Aku menoleh singkat sambil
sibuk membolak-balik gorengan yang ada dimeja kantin.
“Wah, anak kota doyan
gorengan juga to? Ayo beli banyak,
itu buatanku lho,”pernyataannya itu berhasil membuatku segera memindahkan
tangan dari atas tumpukan gorengan.
“Lo yang bikin ini? Ck,
pantes aja gosong gini,”ucapku ketus lalu berjalan keluar kantin dengan tangan
hampa. Sebenarnya aku kelaparan tapi terlalu gengsi untuk kembali kesana. Dari
belakang terdengar suara langkah kaki dan bisa kutebak milik siapa, Uni.
“Gagar! Coba dulu, aku
kasih gratis wis buat kamu,”Uni
menyodorkan seplastik berisi pisang goreng. Rasa gengsi telah menutupi rasa
laparku sehingga aku berlalu saja, masuk kedalam kelas. Gadis itu tak habis
akal, entah lewat jendela atau lewat mana, seplastik pisang goreng itu telah
duduk manis dimeja pojok ruang kelas. Apa salahnya sih makan sebiji, pikirku.
Langsung aku mengambil satu pisang goreng didalam plastik dan mengunyahnya.
“Not bad,”gumamku pelan. Ukuran pisang goreng yang terlalu kecil
atau aku yang terlalu lapar, aku memakan lagi pisang goreng yang ada didalam
plastik. Tanpa sadar, semua telah meluncur kedalam lambungku ini.
“Wah, laper
Gar?”tiba-tiba Uni datang menghampiriku. Ia geleng kepala saat melihat pisang
goreng didalam plastik yang sudah lenyap.
“Gue laper,”aku merogoh
kantong dan mengeluarkan selembar uang biru.
“Ndak usah bayar Gar, gratis,”ucapnya sumringah.
Entah apa yang salah dengan Uni
hingga ia menjadi terlalu perhatian denganku, padahal aku selalu dingin
terhadapnya. Hal tersebut berlangsung hingga kami mengikuti simulasi ujian
nasional. Tanpa diminta, gadis Klaten itu mengajariku materi yang belum aku
kuasai. Pernah suatu kali kami pulang
hampir bedug maghrib karena mengajariku materi kimia. Kupikir ia menyukaiku,
hingga suatu sore ditengah hujan yang mengguyur semua terungkap.
“Lo suka sama gue, Un?”
“Eh? Suka? Ndak kok ndak,”logat jawa kental keluar
dari mulutnya.
“Trus kenapa selama ini
Lo perhatian sama gue?”ucapku sambil duduk menunggu hujan reda. Tanpa sepatah
kata yang terucap, Uni mengambil sesuatu dari dalam tasnya yang setengah kumal.
Ia mengambil sebuah dompet kecil dan menunjukkan padaku sebuah foto hitam putih
yang hampir sobek.
“Ngapain Lo nunjukin
foto ginian ke gue?”
“Namanya Mas Gagar. Dia
kakakku satu-satunya. Orangnya dingin tapi baik hati. Meski kalian beda tapi
nama kalian sama, Gagar. Ndak tau kenapa setiap denger orang yang punya nama Gagar,
aku selalu inget masku itu. Tanggal 27
Mei enam tahun yang lalu mas Gagar pergi,”Uni bercerita sambil menatap rintik
hujan yang jatuh. Kulihat Uni menundukkan kepalanya sambil sesekali menyeka air
mata yang keluar.
“Mas Lo pergi kemana
emang?”lama aku menanti Uni menjawab pertanyaan ini. Uni sesekali terisak dan
pada akhirnya ia berlari entah kemana.
***
Dalam sepi aku menyendiri dikamar
sambil memikirkan kejadian yang menimpa almarhum papa. Beliau meninggal akibat
serangan jantung karena sebuah kabar burung yang menyebutkan bahwa papa melakukan tindak pidana
korupsi. Papa adalah salah satu staff di Kementrian Agama yang menjadi sorotan
publik saat masalah korupsi pengadaan Al-Qur’an mencuat ke media. Saat
mengenang papa tiba-tiba aku teringat cerita Uni tempo hari tentang kakaknya yang
bernama Gagar.
“27 Mei enam tahun lalu?
Pergi?”aku membayangkan Unni yang menangis.
“Ah! Gempa Jogja,”tanpa
pikir panjang aku segera browsing dan
mencari beberapa informasi tentang gempa Jogja. Benar saja, aku menemukan
sebuah artikel tentang tempat-tempat yang mengalami kerusakan paling parah saat
gempa Jogja terjadi. Klaten termasuk kedalam daerah terparah karena kerusakan
yang diakibatkan gempa yang terjadi pada pukul 05.55 WIB enam tahun silam. Aku
masih menerka-nerka apa yang membuat Unni begitu tertarik dengan namaku dan
hubungannya dengan gempa Jogja.
***
“Gagar!”suara khas Uni
mengawali hari saat aku baru beberapa langkah memasuki gerbang sekolah. Kulihat
Uni datang dengan baskom ditangan. Ia berusaha mensejajarkan langkahnya
denganku. Kulirik sekilas baskom itu berisi tumpukan pisang goreng yang masih
terlihat baru matang.
“Beneran itu Lo yang
buat ?”aku menatap pisang goreng dan Uni bergantian. Uni hanya tersenyum lebar
mengiyakan pertanyaanku. Tanpa pikir panjang segera kulanjutkan melangkah
memasuki area sekolah.
“Gagar!”dengan suara
khas Uni kembali memanggilku saat kami baru saja memasuki ruang kelas.
“Hm?”aku tidak menoleh
dan sibuk mengisi formulir pendaftaran perguruan tinggi.
“Nanti sore mau ndak, main kerumah?”tiba-tiba gadis
dengan postur tubuh kecil ini bertanya demikian.
“Gue nggak tahu dimana
rumah Lo,”jawabku santai. Kupikir Uni hanya iseng, namun ia terus saja memohon.
“Ayo, Gar. Ada yang mau
ketemu sama kamu dirumah,”kata Uni sambil menarik ujung dari lengan seragam
sekolahku. Aku menoleh kearahnya sambil berkata,”Ck, gue coba atur dulu
waktunya”. Terlihat senyum tipis mengembang diwajah Uni.
***
Aku memacu laju motorku pelan saat
kami tiba didaerah perkampungan tempat Uni tinggal. Sesekali kulirik Uni dari
kaca spion karena ia sama sekali tidak pegangan. Dengan suaranya yang terdengar
amat pelan, ia berusaha menunjukkan dimana letak rumahnya. Uni menyuruhku
menghentikan laju motor saat kami memasuki sebuah pekarangan luas dengan
beberapa pohon pisang yang mejulang tinggi. Uni turun dari motor dengan
menenteng baskom lalu segera berlari kedalam rumah. Tidak sampai lima menit,
Uni sudah keluar dengan kaos kumal dan rok abu-abu yang mulai pudar warnanya.
“Gar, ayo masuk,”pinta
Uni padaku. Ia menarik tangan kananku untuk mengikutinya masuk kedalam sebuah
rumah dengan dinding anyaman bambu. Uni mengajakku memasuki sebuah kamar dengan
seorang wanita setengah baya yang terbaring diatas tempat tidur tanpa kasur.
“Bu, ini yang namanya
Gagar,”Uni memperkenalkanku pada wanita setengah baya yang ternyata adalah
ibunya. Uni mendorong tubuhku pelan agar duduk diujung tempat tidur. Tangan
lemah ibu Uni menyambut hangat kehadiranku dirumah ini, semakin mengingatkanku
dengan sosok Mama yang kini sedang berjuang di ibukota.
“Sepintas mirip Mas
Gagar kan, bu?”Uni duduk diatas tikar anyaman sambil mengelap air mata ibunya
yang perlahan membasahi wajah beliau. Perlahan, Uni mulai menceritakan mengapa
ia begitu tertarik dengan namaku.
***
Gagar adalah sebuah nama yang membuatku
dan Uni kini menjadi sahabat. Mungkin lebih sopan jika aku memanggilnya dengan
Mas Gagar. Mas Gagar adalah kakak satu-satunya Uni yang menjadi tulang punggung
keluarga. Enam tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 27 Mei 2006, Mas Gagar
berpulang saat melindungi adik kecilnya dari reruntuhan rumah. Demi adik semata
wayang yang amat ia sayangi, ia rela mempertaruhkan nyawanya sendiri. Kini adik
kecil Mas Gagar tumbuh menjadi seorang gadis manis yang tengah duduk
disampingku. Uni berkata bahwa Mas Gagar
ingin sekali melihatku menjadi seorang sarjana, entah sarjana dari ilmu murni
atau ilmu terapan lainnya.
“Jadilah orang yang
berguna. Paling tidak, berguna untuk sepuluh orang yang ada disekitarmu. Itu
kata-kata Mas Gagar yang membuatku terpacu untuk masuk perguruan tinggi,”sahut
Uni.
“Trus Lo mau ambil
jurusan apa?”iseng-iseng aku bertanya.
“Pertanian,”jawabnya
mantap.
“Mau jadi apa Lo ambil
pertanian? Jadi ibu-ibu tani?”ledekku saat mendengar jawaban Uni. Uni hanya
diam sambil memandangiku.
“Aku masih berpegang
dengan pesan dari almarhum Mas Gagar. Berguna bagi paling tidak sepuluh orang
disekitar. Ya, orang-orang disekitarku adalah petani yang notabene pahlawan
tersembunyi di Indonesia. Tanpa beliau, kita mau makan apa? Lagipula aku ingin
mempertahankan lahan persawahan di kota kecil ini. Semoga masa studiku lebih
cepat dari para kontraktor yang berlomba menanam beton dilahan mereka,”jawaban
Uni membuatku diam seribu bahasa. Tak kusangka gadis pembuat pisang goreng ini
mempunyai ambisi kuat untuk menjaga kota kelahirannya.
Uni membuatku sadar, mejadi berguna
bukan merupakan sebuah pilihan melainkan sebuah kewajiban meskipun hanya untuk
sepuluh orang disekitar. Uni membulatkan keinginan masuk pertanian sementara
aku membulatkan masuk jurusan hukum. Ya, aku harus menjadi berguna paling tidak
untuk sepuluh orang disekitarku. Aku ingin menyumbangkan setitik ide guna
menegakkan hukum di Indonesia dan membuat almarhum Papa bangga.
***
Seminggu setelah hasil ujian
nasional diumumkan, pihak penyelenggara Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
(SNMPTN) jalur prestasi mengumumkan siapa saja yang lolos seleksi perguruan
tinggi tanpa tes tersebut. Sejak subuh Mama sudah mengucapkan selamat padaku
karena aku lolos disalah satu perguruan tinggi di Bandung dengan pilihan yang
kuambil adalah hukum. Aku sama sekali tidak percaya dan memutuskan untuk
memastikannya sendiri. Aku memohon pada pemilik warnet didekat rumah untuk
membuka warnetnya lebih awal karena koneksi internet dirumah tidak mampu
bersaing dengan puluhan ribu server yang saat itu sedang digunakan oleh puluhan
ribu siswa yang tengah menunggu untuk melihat pengumuman SNMPTN. Mataku
terbelalak saat membaca tulisan selamat disertai dengan nama lengkapku tertera
pada layar monitor. Iseng-iseng aku mengetikkan nomor pendaftaran Uni dan
seketika dada ini seperti lega saat melihat nama Khairunisa mucul setelah aku
menekan tombol enter. Rasa senang
yang tidak terkira kurasakan pagi itu namun seketika lenyap saat melihat perguruan
tinggi pilihan Uni. Uni memilih salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta
sementara aku memilih Bandung untuk tempat aku mencari tongkat keilmuanku.
“Ck, apaan sih Lo Gar!
Lo harus tanggung jawab dengan pilihan yang Lo ambil sendiri,”gerutuku dalam
hati.
***
Waktu yang tersisa tinggal seminggu,
sebelum aku meninggalkan kota kecil ini dan memulai aktivitas baru di Bandung.
Begitu pula dengan Uni, ia tampak senang karena permohonan untuk beasiswa telah
diterima pihak perguruan tinggi. Waktu yang tersisa aku manfaatkan untuk menjelajah
Klaten. Menjelajah setiap sudut kota yang sama sekali belum pernah kujamah
selama hampir setahun aku hidup disini.
Minggu pagi aku mengajak Uni
berjualan pisang goreng di Car Free Day
(CFD) yang berpusat dipusat kota Klaten. Pagi-pagi sekali kami berangkat
dan membuka lapak disekitar alun-alun kota. Pisang goreng dengan sedikit
sentuhan ide berhasil menarik beberapa pembeli. Pisang goreng hangat dengan
beberapa pilihan topping rasa membuat
kami sedikit kewalahan melayani pembeli yang kebanyakan anak muda serta ibu-ibu
yang menggendong anaknya. Tidak sampai tiga jam pisang goreng dagangan kami
telah habis terjual. Aku memberikan seluruh hasil penjualan untuk Uni dan yang
pasti dengan enggan ia menolaknya.
“Ini hasil kerja berdua,
hasilnya juga harus dibagi dua,”sungguh suara khas dengan logat jawa ini akan
kurindukan saat aku kuliah di Bandung nanti.
Uni mengajakku sebuah tempat seperti
danau dengan puluhan bangunan semipermanen mengapung diatasnya. Pemandangan
pegunungan kapur menambah sisi natural dari tempat itu.
“Ini namanya Rowo
Jombor, nah yang disana namanya warung apung. Makanannya enak dan lumayan
murah,”kata Uni sambil menunjuk kearah bangunan semipermanen tersebut. Warung
apung tersebut terletak ditengah danau sehingga kami harus menyebrang terlebih
dahulu. Aku sedikit ngeri karena kami harus naik semacam sampan yang hanya
terbuat dari bambu dan digerakkan dengan tenaga manusia. Kami memilih duduk
disisi terluar dari warung apung sehingga mendapat pemandangan pegunungan kapur
yang maskimal. Kali ini kami memesan serba bakar-bakaran, mulai dari gurami
bakar, udang bakar, dan lele bakar. Sesekali aku memotret Uni secara diam-diam
karena gadis ini susah sekali diambil gambarnya kecuali saat foto untuk
pembuatan kartu ujian nasional.
Tempat terakhir adalah Deles. Tempat
dikaki bukit gunung merapi ini dipilih Uni karena ia juga belum pernah pergi
kesana. Ia ingin melihat bagaimana keadaan daerah Deles pasca erupsi Gunung
Merapi dua tahun yang lalu. Dengan berbekal peta tulisan tangan Pak Jauhari,
kami berangkat pagi-pagi benar agar tidak kesiangan sampai tujuan. Untung tak
bisa diraih, malang tak bisa ditolak, seharian kami berkeliling daerah kaki
bukit Gunung Merapi namun belum juga sampai tujuan. Menjelang sore kami baru
sampai di daerah Deles. Alamnya yang menawan tidak sedikitpun menghalangi niat
kami untuk menikmati suasana sore hari disana. Sisa-sisa erupsi Gunung Merapi
masih terihat walaupun hanya sedikit. Karena kami berangkat terlalu pagi, aku
lupa membawa kamera saku untuk mengabadikan suasana senja didaerah terakhir
yang kukunjungi bersama Uni. Lagi-lagi aku hanya bisa memotret Uni secara
diam-diam menggunakan ponsel.
“Wah, bagus! Bandung ndak ada yang kayak gini, Gar!”teriak
Uni saat matahari mulai terbenam dan menyiratkan siluet jingga dilangit kaki
Gunung Merapi. Aku tersenyum mendengar perkataan Uni. Beberapa saat kemudian
aku baru sadar makna tersirat dari perkataan Uni tadi. Ada salam perpisahan
didalamnya, sejenak aku memandangi Uni yang tengah asik menikmati suasana senja.
***
Lalu lalang padagang asongan dan
deru suara kereta api saling beradu menambah keramaian Stasiun Kota Klaten. Jam
belum menunjukkan pukul delapan namun aku sudah siap dengan koper-koper yang
memuat barang bawaanku menuju Kota Kembang, Bandung. Kutengok kiri kanan
mencari sosok mungil dengan logat jawa yang kental tapi sampai sepuluh menit
sebelum keberangkatanku ia belum juga muncul. Petugas kereta api menuruhku
untuk segera naik kedalam kereta karena kereta akan segera berangkat.
Sayup-sayup kudengar suara khas yang memanggil namaku dengan keras diluar
kereta. Kutenggok dari kaca jendela kereta api, Uni tengah berlari sambil
membawa sebuah kotak bekal ditangannya. Dengan segera aku turun dari kereta dan
menemui Uni untuk terakhir kalinya.
“Kemarin kan gue udah
bilang, gue berangkat jam delapan,”sengaja aku menceramahi Uni sebelum aku
benar-benar pergi dari kota kecil penuh kenangan ini.
“Maaf Gar, aku tadi
bikin ini dulu,”Uni menyodorkan sebuah kotak makan kepadaku.
“Kamu belum sarapan to? Itu ada pisang goreng dengan setitik
sentuhan idenya Gagar Mewasdinta,”kata Uni sambil terkekeh pelan. Aku ikut
terkekeh dan entah apa yang membuatku sangat enggan meninggalkan Uni sendirian
di kota ini, aku memeluk Uni. Tidak peduli puluhan pasang mata menatap heran
kearah kami namun aku tidak bisa menyangkal bahwa aku akan sangat merindukan
Uni disini. Kulepas pelukan kilat itu dan kulihat mata Uni mulai sembab.
“Jangan nangis. Tega
banget Lo nganter gue cuman buat nangis,”kuusap lembut air mata yang membasahi
pipi Uni dan membuatnya menunduk entah karena terharu atau tersipu malu.
“Aku ndak nangis,”Uni berusaha tersenyum
dengan rona wajahnya yang masih merah.
“Sini ponsel Lo,”aku
meminta ponsel Uni dan membuatnya bingung untuk beberapa waktu.
“Pp-ponsel? Buat apa,
Gar?”tanyanya bingung. Aku tetap menengadahkan tangan dan akhirnya Uni
meletakkan ponselnya ditelapak tanganku. Dengan cepats aku melepas simcard Uni dan memasangkannya kedalam smartphoneku.
“Lo nggak perlu
jauh-jauh ke warnet buat ngerjain tugas, ini bisa buat internetan sama ngetik
juga. Jaga baik-baik, ini barang mahal. Satu lagi, didalem udah ada memo alamat
gue di Bandung sama alamat email gue. Kalo butuh sesuatu nggak usah kirim surat
lewat pos, cukup kirim email aja,”kataku sambil mengantongi ponsel Uni. Uni
hanya diam dan berusaha menahan air matanya.
Tiba saatnya aku harus segera naik
kedalam kereta lagi saat seorang petugas memperingatkanku untuk kedua
kalinya. Aku mengusap lembut rambut Uni
dan berlari masuk kedalam kereta. Kereta mulai bergerak dan kulihat Uni masih
berdiri sambil menatapku. Aku meminjam sebuah spidol hitam kepada seorang anak
kecil yang duduk berhadapan denganku. Aku menuliskan beberapa kata dalam bahasa
inggris ditelapak tanganku lalu
menempelkannya di kaca jendela kereta api.
“I love you Uni,”aku
mengulangi apa yang kutulis ditelapak tangan dan menatap Uni untuk terakhir
kalinya dikota penuh kenangan ini. Sebuah kota kecil tempatku menamatkan masa
putih abu-abu dengan sebuah romansa indah yang tak akan kulupakan, romansa
pisang goreng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar