Jumat, 08 Februari 2013

Romansa Pisang Goreng



Ini cerita yang pernah aku kirim kesalah satu penerbit
mungkin masih banyak kurang disana-sini 
jadi harus kusimpan dalam blogspot


ps. salah satu nama yang digunakan terinspirasi dari

kakak tingkat dikampus

selamat membaca


DO NOT COPY PASTE
ALLOH KNOW EVERYTHING TOU DO^^



Romansa Pisang Goreng


Langkah kaki ini terasa berat saat memasuki gerbang sekolahku yang baru. Entah mengapa aku serasa enggan memasuki tempat ini padahal jam sudah hampir menunjukkan pukul tujuh tepat. Tatapan mata dari siswa-siswi lain membuatku seakan terintimidasi. Aku ingin kembali ke ibukota, rontaku dalam hati.
                        “Ruang kelas XII IPA 1 dimana?”aku menghentikan langkah kaki seorang siswi yang tengah berkutat dengan buku tebal ditangannya. Ia hanya mendongak lalu memperhatikan penampilanku dari ujung kepala hingga ujung kakiku.
                        “Di ujung koridor belok kanan. Ada papan namanya dipintu,”tanpa berucap terimakasih, aku langsung menuju tempat yang ia sebutkan.


Mata ini terbelalak saat melihat ruangan dengan dua puluh meja kayu usang dan empat puluh satu kursi kayu yang menemani. Beberapa anak sudah siap dengan buku dihadapan dan sisanya asik mengobrol dengan teman yang duduk didepan mereka. Kujelajahi tiap sudut ruangan yang disebut dengan kelas ini, untuk mencari sebuah bangku kosong, tempat aku menghabiskan waktu setahun kedepan. Aku melangkah pelan diiringi tatapan aneh dari penghuni kelas lainnya, lalu duduk dipojok ruangan. Suara bel berbunyi nyaring, sedetik kemudian para siswa yang masih berada diluar dengan tergesa memasuki ruang kelas dan menempati kursi mereka masing-masing. Seorang yang tadi berkutat dengan bukunyanya dengan langkah gontai ikut memasuki ruangan ini dan anehnya, ia berjalan menuju tempatku duduk sekarang.
                        “Kau yang tadi bertanya, kan?”ia bertanya saat kedua mata kami saling beradu tatap. Aku pura-pura tidak dengar, berusaha menyibukkan diri dengan smartphone yang ada ditanganku. Kulihat dari ujung mata muka kesalnya, namun tak sedikit kuhiraukan. Ia mendorong kursiku maju kedepan hingga badanku hampir terjepit kemudian ia masuk dan duduk tepat disampingku. Aku menoleh dan menatapnya tajam.
                        “Ngapain Lo duduk disitu?”
                        “Ssst, gurunya udah dateng,”ia tidak menjawab pertanyaanku dan sibuk menata  tumpukan buku tebalnya diatas meja. Suasana yang tadi ramai mendadak hening saat sosok yang kemarin kutemui memasuki ruangan.
                        “Assalamu’alaikum anak-anak,”salam dari Pak Jauhari, Kepala Sekolahku yang baru. Kontan salam dari Pak Jauhari dijawab oleh seluruh anak yang ada dikelas tak terkecuali seorang siswi disebelahku.
                        “Hari ini kita kedatangan teman baru dari ibukota. Ayo nak Gagar, silahkan memperkenalkan diri didepan,”Pak Jauhari menunjukku dan terang saja, seluruh perhatian kelas menuju kearah pojok tempatku duduk. Aku berjalan menuju depan kelas, berdiri disamping Pak Jauhari.
                        “Ayo nak, perkenalkan dirimu dengan teman-teman,”Pak Jauhari menepuk pundakku pelan. Dengan sedikit keraguan, aku membuka mulut dan mulai berucap.
                        “Nama gue Gagar, Gagar Mewasdinta. Gue pindahan dari SMA Bakti Luhur Jakarta. Gue harap gue bisa diterima disini,”

***

Ya, mau nggak mau aku harus tinggal dikota kecil ini. Kota yang terletak diantara Jogja dan Solo, Klaten. Selama 18 tahun hidup di Jakarta, belum pernah sama sekali mendengar keberadaan kota ini. Baru setelah insiden dua bulan yang lalu, aku mendengarnya. Nama Klaten terucap dari bibir Mama saat peringatan tujuh hari meninggalnya Papa. Mama memilih memindahkan aku ke kota kecil ini agar aku lebih konsentrasi belajar karena kini aku sudah kelas tiga sekolah menengah atas. Meskipun tak kupungkiri, sempat aku menolak mentah-mentah rencana Mama untuk memindahkan aku ke Klaten, akhirnya aku menyerah saat melihat Mama tersedu dan memohon padaku agar aku bisa menurutinya.
                        “Gagar!”suara yang cukup asing berhasil membuat langkah kakiku terhenti. Siswi yang duduk disebelahku tempo hari datang menghampiriku lalu mengulurkan tangannya.
                        “Khairunisa, tapi panggil saja Uni,”dengan raut wajah sumringah ia berusaha mengakrabkan diri denganku. Aku mengernyitkan dahi. Memandang penampilannya dari ujung kepala sampai ujung kaki sama seperti yang ia lakukan saat aku bertanya ruang kelas. Aku tidak balas mengulurkan tanganku karena kupikir gadis ini hanya sok cari perhatian sama seperti gadis-gadis lain dikelas. Ia menarik tanganku dengan cepat dan mengajakku bersalaman.
                        “Kalau butuh sesuatu disini, ndak usah sungkan. Bilang ke aku saja,”logat jawa yang cukup kental terdengar saat ia berucap. Mungkin ia asli dari kota kecil ini, pikirku.
                        “Hm,”aku melepas jabat tangan kami dan melanjutkan langkah kaki.


*** 

                        “Tam, tau ndak? Dikelasku ada anak baru pindahan dari Jakarta. Wah, orang e ganteng, putih. Trus mau ki nyatet pake apa itu lho, tipis ngono,”
                        “Tipis? Laptop maksudmu?”
                        “Bukan, kui lho, sing enek gambar apel kecokot,”
                        “Tipis? Apel kecokot? Owalah smartphone to?”
            Saat memasuki ruangan sempit yang berjejalkan jajanan-jajanan ini, aku mendengar percakapan dua orang siswi dengan bahasa jawa. Meskipun aku tidak paham apa maksudnya namun aku bisa menangkap bahwa mereka tengah membicarakan aku.
                        “Gagar!”suara yang hampir kuhapal siapa pemiliknya itu terdengar lagi. Aku menoleh singkat sambil sibuk membolak-balik gorengan yang ada dimeja kantin.
                        “Wah, anak kota doyan gorengan juga to? Ayo beli banyak, itu buatanku lho,”pernyataannya itu berhasil membuatku segera memindahkan tangan dari atas tumpukan gorengan.
                        “Lo yang bikin ini? Ck, pantes aja gosong gini,”ucapku ketus lalu berjalan keluar kantin dengan tangan hampa. Sebenarnya aku kelaparan tapi terlalu gengsi untuk kembali kesana. Dari belakang terdengar suara langkah kaki dan bisa kutebak milik siapa, Uni.
                        “Gagar! Coba dulu, aku kasih gratis wis buat kamu,”Uni menyodorkan seplastik berisi pisang goreng. Rasa gengsi telah menutupi rasa laparku sehingga aku berlalu saja, masuk kedalam kelas. Gadis itu tak habis akal, entah lewat jendela atau lewat mana, seplastik pisang goreng itu telah duduk manis dimeja pojok ruang kelas. Apa salahnya sih makan sebiji, pikirku. Langsung aku mengambil satu pisang goreng didalam plastik dan mengunyahnya.
                        “Not bad,”gumamku pelan. Ukuran pisang goreng yang terlalu kecil atau aku yang terlalu lapar, aku memakan lagi pisang goreng yang ada didalam plastik. Tanpa sadar, semua telah meluncur kedalam lambungku ini.
                        “Wah, laper Gar?”tiba-tiba Uni datang menghampiriku. Ia geleng kepala saat melihat pisang goreng didalam plastik yang sudah lenyap.
                        “Gue laper,”aku merogoh kantong dan mengeluarkan selembar uang biru.
                        “Ndak usah bayar Gar, gratis,”ucapnya sumringah.
            Entah apa yang salah dengan Uni hingga ia menjadi terlalu perhatian  denganku, padahal aku selalu dingin terhadapnya. Hal tersebut berlangsung hingga kami mengikuti simulasi ujian nasional. Tanpa diminta, gadis Klaten itu mengajariku materi yang belum aku kuasai.  Pernah suatu kali kami pulang hampir bedug maghrib karena mengajariku materi kimia. Kupikir ia menyukaiku, hingga suatu sore ditengah hujan yang mengguyur semua terungkap.
                        “Lo suka sama gue, Un?”
                        “Eh? Suka? Ndak kok ndak,”logat jawa kental keluar dari mulutnya.
                        “Trus kenapa selama ini Lo perhatian sama gue?”ucapku sambil duduk menunggu hujan reda. Tanpa sepatah kata yang terucap, Uni mengambil sesuatu dari dalam tasnya yang setengah kumal. Ia mengambil sebuah dompet kecil dan menunjukkan padaku sebuah foto hitam putih yang hampir sobek.
                        “Ngapain Lo nunjukin foto ginian ke gue?”
                        “Namanya Mas Gagar. Dia kakakku satu-satunya. Orangnya dingin tapi baik hati. Meski kalian beda tapi nama kalian sama, Gagar. Ndak tau kenapa  setiap denger orang yang punya nama Gagar, aku selalu inget masku itu. Tanggal 27 Mei enam tahun yang lalu mas Gagar pergi,”Uni bercerita sambil menatap rintik hujan yang jatuh. Kulihat Uni menundukkan kepalanya sambil sesekali menyeka air mata yang keluar.
                        “Mas Lo pergi kemana emang?”lama aku menanti Uni menjawab pertanyaan ini. Uni sesekali terisak dan pada akhirnya ia berlari entah kemana.


*** 

            Dalam sepi aku menyendiri dikamar sambil memikirkan kejadian yang menimpa almarhum papa. Beliau meninggal akibat serangan jantung karena sebuah kabar burung  yang menyebutkan bahwa papa melakukan tindak pidana korupsi. Papa adalah salah satu staff di Kementrian Agama yang menjadi sorotan publik saat masalah korupsi pengadaan Al-Qur’an mencuat ke media. Saat mengenang papa tiba-tiba aku teringat cerita Uni tempo hari tentang kakaknya yang bernama Gagar.
                        “27 Mei enam tahun lalu? Pergi?”aku membayangkan Unni yang menangis.
                        “Ah! Gempa Jogja,”tanpa pikir panjang aku segera browsing dan mencari beberapa informasi tentang gempa Jogja. Benar saja, aku menemukan sebuah artikel tentang tempat-tempat yang mengalami kerusakan paling parah saat gempa Jogja terjadi. Klaten termasuk kedalam daerah terparah karena kerusakan yang diakibatkan gempa yang terjadi pada pukul 05.55 WIB enam tahun silam. Aku masih menerka-nerka apa yang membuat Unni begitu tertarik dengan namaku dan hubungannya dengan gempa Jogja.


***

                        “Gagar!”suara khas Uni mengawali hari saat aku baru beberapa langkah memasuki gerbang sekolah. Kulihat Uni datang dengan baskom ditangan. Ia berusaha mensejajarkan langkahnya denganku. Kulirik sekilas baskom itu berisi tumpukan pisang goreng yang masih terlihat baru matang.
                        “Beneran itu Lo yang buat ?”aku menatap pisang goreng dan Uni bergantian. Uni hanya tersenyum lebar mengiyakan pertanyaanku. Tanpa pikir panjang segera kulanjutkan melangkah memasuki area sekolah.
                        “Gagar!”dengan suara khas Uni kembali memanggilku saat kami baru saja memasuki ruang kelas.
                        “Hm?”aku tidak menoleh dan sibuk mengisi formulir pendaftaran perguruan tinggi.
                        “Nanti sore mau ndak, main kerumah?”tiba-tiba gadis dengan postur tubuh kecil ini bertanya demikian.
                        “Gue nggak tahu dimana rumah Lo,”jawabku santai. Kupikir Uni hanya iseng, namun ia terus saja memohon.
                        “Ayo, Gar. Ada yang mau ketemu sama kamu dirumah,”kata Uni sambil menarik ujung dari lengan seragam sekolahku. Aku menoleh kearahnya sambil berkata,”Ck, gue coba atur dulu waktunya”. Terlihat senyum tipis mengembang diwajah Uni.

*** 

            Aku memacu laju motorku pelan saat kami tiba didaerah perkampungan tempat Uni tinggal. Sesekali kulirik Uni dari kaca spion karena ia sama sekali tidak pegangan. Dengan suaranya yang terdengar amat pelan, ia berusaha menunjukkan dimana letak rumahnya. Uni menyuruhku menghentikan laju motor saat kami memasuki sebuah pekarangan luas dengan beberapa pohon pisang yang mejulang tinggi. Uni turun dari motor dengan menenteng baskom lalu segera berlari kedalam rumah. Tidak sampai lima menit, Uni sudah keluar dengan kaos kumal dan rok abu-abu yang mulai pudar warnanya.
                        “Gar, ayo masuk,”pinta Uni padaku. Ia menarik tangan kananku untuk mengikutinya masuk kedalam sebuah rumah dengan dinding anyaman bambu. Uni mengajakku memasuki sebuah kamar dengan seorang wanita setengah baya yang terbaring diatas tempat tidur tanpa kasur.
                        “Bu, ini yang namanya Gagar,”Uni memperkenalkanku pada wanita setengah baya yang ternyata adalah ibunya. Uni mendorong tubuhku pelan agar duduk diujung tempat tidur. Tangan lemah ibu Uni menyambut hangat kehadiranku dirumah ini, semakin mengingatkanku dengan sosok Mama yang kini sedang berjuang di ibukota.
                        “Sepintas mirip Mas Gagar kan, bu?”Uni duduk diatas tikar anyaman sambil mengelap air mata ibunya yang perlahan membasahi wajah beliau. Perlahan, Uni mulai menceritakan mengapa ia begitu tertarik dengan namaku.


*** 
            Gagar adalah sebuah nama yang membuatku dan Uni kini menjadi sahabat. Mungkin lebih sopan jika aku memanggilnya dengan Mas Gagar. Mas Gagar adalah kakak satu-satunya Uni yang menjadi tulang punggung keluarga. Enam tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 27 Mei 2006, Mas Gagar berpulang saat melindungi adik kecilnya dari reruntuhan rumah. Demi adik semata wayang yang amat ia sayangi, ia rela mempertaruhkan nyawanya sendiri. Kini adik kecil Mas Gagar tumbuh menjadi seorang gadis manis yang tengah duduk disampingku.  Uni berkata bahwa Mas Gagar ingin sekali melihatku menjadi seorang sarjana, entah sarjana dari ilmu murni atau ilmu terapan lainnya.
                        “Jadilah orang yang berguna. Paling tidak, berguna untuk sepuluh orang yang ada disekitarmu. Itu kata-kata Mas Gagar yang membuatku terpacu untuk masuk perguruan tinggi,”sahut Uni.
                        “Trus Lo mau ambil jurusan apa?”iseng-iseng aku bertanya.
                        “Pertanian,”jawabnya mantap.
                        “Mau jadi apa Lo ambil pertanian? Jadi ibu-ibu tani?”ledekku saat mendengar jawaban Uni. Uni hanya diam sambil memandangiku.
                        “Aku masih berpegang dengan pesan dari almarhum Mas Gagar. Berguna bagi paling tidak sepuluh orang disekitar. Ya, orang-orang disekitarku adalah petani yang notabene pahlawan tersembunyi di Indonesia. Tanpa beliau, kita mau makan apa? Lagipula aku ingin mempertahankan lahan persawahan di kota kecil ini. Semoga masa studiku lebih cepat dari para kontraktor yang berlomba menanam beton dilahan mereka,”jawaban Uni membuatku diam seribu bahasa. Tak kusangka gadis pembuat pisang goreng ini mempunyai ambisi kuat untuk menjaga kota kelahirannya.
            Uni membuatku sadar, mejadi berguna bukan merupakan sebuah pilihan melainkan sebuah kewajiban meskipun hanya untuk sepuluh orang disekitar. Uni membulatkan keinginan masuk pertanian sementara aku membulatkan masuk jurusan hukum. Ya, aku harus menjadi berguna paling tidak untuk sepuluh orang disekitarku. Aku ingin menyumbangkan setitik ide guna menegakkan hukum di Indonesia dan membuat almarhum Papa bangga.

*** 

            Seminggu setelah hasil ujian nasional diumumkan, pihak penyelenggara Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) jalur prestasi mengumumkan siapa saja yang lolos seleksi perguruan tinggi tanpa tes tersebut. Sejak subuh Mama sudah mengucapkan selamat padaku karena aku lolos disalah satu perguruan tinggi di Bandung dengan pilihan yang kuambil adalah hukum. Aku sama sekali tidak percaya dan memutuskan untuk memastikannya sendiri. Aku memohon pada pemilik warnet didekat rumah untuk membuka warnetnya lebih awal karena koneksi internet dirumah tidak mampu bersaing dengan puluhan ribu server yang saat itu sedang digunakan oleh puluhan ribu siswa yang tengah menunggu untuk melihat pengumuman SNMPTN. Mataku terbelalak saat membaca tulisan selamat disertai dengan nama lengkapku tertera pada layar monitor. Iseng-iseng aku mengetikkan nomor pendaftaran Uni dan seketika dada ini seperti lega saat melihat nama Khairunisa mucul setelah aku menekan tombol enter. Rasa senang yang tidak terkira kurasakan pagi itu namun seketika lenyap saat melihat perguruan tinggi pilihan Uni. Uni memilih salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta sementara aku memilih Bandung untuk tempat aku mencari tongkat keilmuanku.
                        “Ck, apaan sih Lo Gar! Lo harus tanggung jawab dengan pilihan yang Lo ambil sendiri,”gerutuku dalam hati.

***

            Waktu yang tersisa tinggal seminggu, sebelum aku meninggalkan kota kecil ini dan memulai aktivitas baru di Bandung. Begitu pula dengan Uni, ia tampak senang karena permohonan untuk beasiswa telah diterima pihak perguruan tinggi. Waktu yang tersisa aku manfaatkan untuk menjelajah Klaten. Menjelajah setiap sudut kota yang sama sekali belum pernah kujamah selama hampir setahun aku hidup disini.
            Minggu pagi aku mengajak Uni berjualan pisang goreng di Car Free Day (CFD) yang berpusat dipusat kota Klaten. Pagi-pagi sekali kami berangkat dan membuka lapak disekitar alun-alun kota. Pisang goreng dengan sedikit sentuhan ide berhasil menarik beberapa pembeli. Pisang goreng hangat dengan beberapa pilihan topping rasa membuat kami sedikit kewalahan melayani pembeli yang kebanyakan anak muda serta ibu-ibu yang menggendong anaknya. Tidak sampai tiga jam pisang goreng dagangan kami telah habis terjual. Aku memberikan seluruh hasil penjualan untuk Uni dan yang pasti dengan enggan ia menolaknya.
                        “Ini hasil kerja berdua, hasilnya juga harus dibagi dua,”sungguh suara khas dengan logat jawa ini akan kurindukan saat aku kuliah di Bandung nanti.
            Uni mengajakku sebuah tempat seperti danau dengan puluhan bangunan semipermanen mengapung diatasnya. Pemandangan pegunungan kapur menambah sisi natural dari tempat itu.
                        “Ini namanya Rowo Jombor, nah yang disana namanya warung apung. Makanannya enak dan lumayan murah,”kata Uni sambil menunjuk kearah bangunan semipermanen tersebut. Warung apung tersebut terletak ditengah danau sehingga kami harus menyebrang terlebih dahulu. Aku sedikit ngeri karena kami harus naik semacam sampan yang hanya terbuat dari bambu dan digerakkan dengan tenaga manusia. Kami memilih duduk disisi terluar dari warung apung sehingga mendapat pemandangan pegunungan kapur yang maskimal. Kali ini kami memesan serba bakar-bakaran, mulai dari gurami bakar, udang bakar, dan lele bakar. Sesekali aku memotret Uni secara diam-diam karena gadis ini susah sekali diambil gambarnya kecuali saat foto untuk pembuatan kartu ujian nasional.
            Tempat terakhir adalah Deles. Tempat dikaki bukit gunung merapi ini dipilih Uni karena ia juga belum pernah pergi kesana. Ia ingin melihat bagaimana keadaan daerah Deles pasca erupsi Gunung Merapi dua tahun yang lalu. Dengan berbekal peta tulisan tangan Pak Jauhari, kami berangkat pagi-pagi benar agar tidak kesiangan sampai tujuan. Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak, seharian kami berkeliling daerah kaki bukit Gunung Merapi namun belum juga sampai tujuan. Menjelang sore kami baru sampai di daerah Deles. Alamnya yang menawan tidak sedikitpun menghalangi niat kami untuk menikmati suasana sore hari disana. Sisa-sisa erupsi Gunung Merapi masih terihat walaupun hanya sedikit. Karena kami berangkat terlalu pagi, aku lupa membawa kamera saku untuk mengabadikan suasana senja didaerah terakhir yang kukunjungi bersama Uni. Lagi-lagi aku hanya bisa memotret Uni secara diam-diam menggunakan ponsel.
                        “Wah, bagus! Bandung ndak ada yang kayak gini, Gar!”teriak Uni saat matahari mulai terbenam dan menyiratkan siluet jingga dilangit kaki Gunung Merapi. Aku tersenyum mendengar perkataan Uni. Beberapa saat kemudian aku baru sadar makna tersirat dari perkataan Uni tadi. Ada salam perpisahan didalamnya, sejenak aku memandangi Uni yang tengah asik menikmati suasana senja.


***

            Lalu lalang padagang asongan dan deru suara kereta api saling beradu menambah keramaian Stasiun Kota Klaten. Jam belum menunjukkan pukul delapan namun aku sudah siap dengan koper-koper yang memuat barang bawaanku menuju Kota Kembang, Bandung. Kutengok kiri kanan mencari sosok mungil dengan logat jawa yang kental tapi sampai sepuluh menit sebelum keberangkatanku ia belum juga muncul. Petugas kereta api menuruhku untuk segera naik kedalam kereta karena kereta akan segera berangkat. Sayup-sayup kudengar suara khas yang memanggil namaku dengan keras diluar kereta. Kutenggok dari kaca jendela kereta api, Uni tengah berlari sambil membawa sebuah kotak bekal ditangannya. Dengan segera aku turun dari kereta dan menemui Uni untuk terakhir kalinya.
                        “Kemarin kan gue udah bilang, gue berangkat jam delapan,”sengaja aku menceramahi Uni sebelum aku benar-benar pergi dari kota kecil penuh kenangan ini.
                        “Maaf Gar, aku tadi bikin ini dulu,”Uni menyodorkan sebuah kotak makan kepadaku.
                        “Kamu belum sarapan to? Itu ada pisang goreng dengan setitik sentuhan idenya Gagar Mewasdinta,”kata Uni sambil terkekeh pelan. Aku ikut terkekeh dan entah apa yang membuatku sangat enggan meninggalkan Uni sendirian di kota ini, aku memeluk Uni. Tidak peduli puluhan pasang mata menatap heran kearah kami namun aku tidak bisa menyangkal bahwa aku akan sangat merindukan Uni disini. Kulepas pelukan kilat itu dan kulihat mata Uni mulai sembab.
                        “Jangan nangis. Tega banget Lo nganter gue cuman buat nangis,”kuusap lembut air mata yang membasahi pipi Uni dan membuatnya menunduk entah karena terharu atau tersipu malu.
                        “Aku ndak nangis,”Uni berusaha tersenyum dengan rona wajahnya yang masih merah.
                        “Sini ponsel Lo,”aku meminta ponsel Uni dan membuatnya bingung untuk beberapa waktu.
                        “Pp-ponsel? Buat apa, Gar?”tanyanya bingung. Aku tetap menengadahkan tangan dan akhirnya Uni meletakkan ponselnya ditelapak tanganku. Dengan cepats aku melepas simcard Uni dan memasangkannya kedalam smartphoneku.
                        “Lo nggak perlu jauh-jauh ke warnet buat ngerjain tugas, ini bisa buat internetan sama ngetik juga. Jaga baik-baik, ini barang mahal. Satu lagi, didalem udah ada memo alamat gue di Bandung sama alamat email gue. Kalo butuh sesuatu nggak usah kirim surat lewat pos, cukup kirim email aja,”kataku sambil mengantongi ponsel Uni. Uni hanya diam dan berusaha menahan air matanya.
            Tiba saatnya aku harus segera naik kedalam kereta lagi saat seorang petugas memperingatkanku untuk kedua kalinya.  Aku mengusap lembut rambut Uni dan berlari masuk kedalam kereta. Kereta mulai bergerak dan kulihat Uni masih berdiri sambil menatapku. Aku meminjam sebuah spidol hitam kepada seorang anak kecil yang duduk berhadapan denganku. Aku menuliskan beberapa kata dalam bahasa inggris ditelapak tanganku  lalu menempelkannya di kaca jendela kereta api.
                        “I love you Uni,”aku mengulangi apa yang kutulis ditelapak tangan dan menatap Uni untuk terakhir kalinya dikota penuh kenangan ini. Sebuah kota kecil tempatku menamatkan masa putih abu-abu dengan sebuah romansa indah yang tak akan kulupakan, romansa pisang goreng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar