Kamis, 07 Februari 2013

Happy Valentine Hunhan



DO NOT COPY
ALLOH KNOW EVERYTHING YOU DO^^



"HAPPY VALENTINE HUNHAN"

Cast : Oh Sehun & Xi Luhan


Ingus, remahan biskuit yang berceceran dilantai dan tumpahan susu di bed adalah hal yang berhasil membuat hormon adrenalinku mencuat naik. Bagaimana tidak, hampir setiap hari aku membersihkan sisa-sisa makanan dan lendir yang menjijikkan itu sebelum berangkat sekolah.
Dia bukan adikku. Dia bukan saudaraku, baik dari pihak ibu maupun dari pihak Ayah. Dia bahkan tidak punya hubungan darah denganku. Tapi hampir setahun ini dia terus menempel pada kehidupanku, meninggalkan remahan biskuit yang sangat kubenci dilantai sehingga kakiku tak jenak melangkah.
Sehun adalah anak dari calon ibu tiriku. Ya, ayahku dan ibunya memang sudah lama berpacaran. Mungkin ayah merasa kesepian karena hampir belasan tahun hidup sendiri dan harus mengurusiku setiap hari. Sehun dan aku sebaya. Tanggal lahir kami hanya terpaut tujuh hari. Namun jangan samakan aku dengan dia. Karena kami jelas berbeda. Aku normal dan dia istimewa. Terlampau istimewa karena pada usianya sekarang, ia masih harus minum susu dari botol.




***


“Ck, sudah kubilang bersihkan remahan biskuitmu. Aku lelah setiap hari menyapu remahan-remahan itu!”bentakku pada Sehun. Aku menatap sinis Sehun yang sedari tadi hanya sibuk duduk manis sambil memainkan botol susunya.
“Jangan tumpahkan susu lagi. Dikira gampang apa mencuci karpet. Kalau mau menumpahkan susu, dilantai kamar mandi, jangan dikarpet!”lagi-lagi Sehun hanya duduk diam sambil mengelap air liurnya dengan ujung kaos.
“Aku berangkat sekolah dulu. Awas kalau kau menumpahkan susu dikarpet lagi. Akan kukurung kau didalam kamar mandi,”Sehun hanya tersenyum lebar sambil merangkak mendekatiku. Ia menarik tanganku lalu menciumnya.
“Hya, bersihkan air liurmu dulu sebelum mencium tanganku!”


***


Gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Jepang tahun 2011 lalu memang menjadi duka bagi penduduk Jepang. Apalagi setelah satu reactor nuklir meledak dan memancarkan radiasi nuklir hingga radius lima kilomemeter. Tidak hanya penduduk Jepang yang berduka, tapi aku juga berduka. 
Ayah dan calon ibu tiriku terseret arus tsunami dan sampai sekarang hilang entah kemana. Sialnya, anak dari calon ibu tiriku yang istimewa itu dikirim oleh pemerintah Jepang kealamat rumahku. Awalnya aku menolak karena aku juga korban dalam bencana itu dan tidak bisa menerima kehadiran Sehun. Dan sesuatu yang tak kuduga membuatku terpaksa merawat Sehun dan menerima ke-istimewaan-nya walau tidak dengan sepenuh hati. Sehun adalah anak biologis dari Ayah. Itu semua tertuang dari buku diary yang ditemukan pemerintah Jepang di berankas ibu Sehun. Oh Damn! Kenapa ini semua terjadi padaku?
Aku benci Sehun. Aku benci tetesan ingus dan air liurnya. Aku benci remahan-remahan biscuit sisa makan siangnya. Aku benci tumpahan susunya. Aku benci saat aku harus merawatnya setiap hari. Terlebih lagi aku benci saat harus mengantar Sehun untuk terapi down syndrome-nya.

***
Dengan langkah gontai aku melangkah masuk kompleks apartemen warisan ayahku. Kubuka pintunya dan astaga! Aku melihat keadaan ruang tamu seperti kapal pecah. Coretan krayon terlihat jelas didinding dan sofa yang terlihat tumpahan saus dan kecap. Aku meremas rambutku, mencoba menahan emosi. Mungkin Sehun marah karena aku pulang terlambat hari ini.
Aku berjalan mendekati Sehun yang tengah asik mencorat-coret sesuatu. Kuusap lembut rambut lelaki istimewa itu dan apa yang aku lihat sungguh tidak bisa menahan emosiku lagi.
“Hya!”aku merampas foto pernikahan ayah dan mendiang ibuku yang sudah tidak berwujud itu, penuh coretan krayon dan tumpahan kecap.
“Kau! Apa kau sudah gila? Ini satu-satunya foto ibuku yang tersisa!”aku tidak bisa menahan emosi lagi. Kubanting apapun yang ada didekatku. Lampu duduk, gelas dan perabot lainnya kini sudah menjadi puing dilantai.
Sehun hanya bisa menangis. Aku tidak peduli apakah dia normah ataupun mengidap down syndrome. Dia telah merusak satu-satunya benda yang bisa mengingatkanku dengan mendiang ibu. Aku murka.
“Apa kau mau mati, eoh? Aku muak denganmu. Kau itu siapa? Kau hanya bisa merepotkanku! Dasar anak tidak berguna! Lebih baik kau tidur selamanya daripada kau terus merepotkan orang seperti ini. Apa kau tau, ini satu-satunya foto ibu yang aku punya!”aku berteriak bak orang kesetanan.
Sehun hanya bisa terisak sambil terus menatapku. Aku tidak peduli lagi dengannya. Aku pergi meninggalkannya seorang diri.


***


Sudah tiga hari aku tidak pulang. Sudah tiga hari pula aku meninggalkan anak istimewa itu dirumah sendirian. Sejenak aku terdiam saat duduk dihalte bus, memikirkan apa yang dilakukan Sehun sekarang. Meskipun Sehun terlampau merepotkan bagiku, namun kuakui ada beberapa momen yang membuat aku bisa menerima kehadiran Shun sedikit demi sedikit.
Masih segar diingatan bagaimana usaha Sehun mendapatkan obat saat badai salju beberapa bulan lalu. Saat itu aku tengah demam tinggi dan hanya bisa meringkuk tak berdaya dikamar. Tidak ada tenaga sedikitpun walau hanya untuk mengatur pemanas ruangan. Alhasil aku dan Sehun hampir mati kedinginan saat musim dingin.
Dengan mantel yang penuh butiran salju, Sehun masuk kekamarku dengan membawa obat. Mulutnya yang hampir membiru karena kedinginan membuatku iba. Aku yang masih tergolek lemah hanya bisa berucap terimakasih dan menitikkan air mata.
“Gomawoyo, Sehun-ah”ucapku lirih sambil menahan air mata yang sejatinya tidak bisa kubendung. Sehun, masih dengan mantel yang setengah basah karena salju, merawatku dengan sepenuh hati. Ia membantuku minum dan memakaikan selimut pororo kesayangannya agar demamku reda.
“Ck, dasar anak bodoh! Apa yang telah kulakukan,”segera aku berlari pulang kerumah.

***

Jantungku hampir berhenti berdetak saat aku keluar dari lift. Pintu apartemen terpasang garis polisi. Aku kalut. Segera kubuka pintu dan mencari dimana Sehun berada. Namun apa yang aku lihat didalam membuat aku berteriak histeris. Keadaan rumah masih berasap. Gorden-gorden habis terbakar dan bantal-bantal sofa hangus tanpa sisa.
“Sehun-ah!”


***


Beberapa tetangga mengantarkanku kerumah sakit tempat Sehun dirawat. Aku hanya bisa merutuki diriku sendiri. Air mata enggan berhenti meski aku sudah lelah menangis. Aku berjalan menapaki lantai koridor rumah sakit dan berjalan menjuu ruang ICU. Setelah memakai pakaian khusus dan masker, aku terduduk lemas disamping Sehun.
Sehun tidur. Tidur dengan slang oksigen dan alat pacu jantung. Aku mengusap tangan Sehun yang terpasang infus. Hanya bisa memandang wajah polos Sehun yang tertidur, berjuang diantara sadar dan koma.


*** 


“Tuan Oh Sehun mengalami depresi berat akibat kebakaran yang terjadi. Psikisnya tidak kuat menanggung dan menjalar ke kinerja jantung. Akibatnya Tuan Sehun pingsan dan keadaannya sekarang amat rentan. Tuan Sehun berada dalam fase diantara sadar dan koma. Fase ini sangat berbahaya apalagi dengan syndrome bawaan yang diidap Tuan Sehun. Tim Dokter sudah melakukan usaha semaksimal mungkin, kita hanya bisa berdoa. Tuhan yang mempunyai kuasa untuk menyadarkan Tuan Sehun,”penjelasan dokter Ki membuatku down. Sehun kini berjuang seorang diri. Aku pantas disalahkan jika terjadi sesuatu dengan Sehun.

*** 

Hari ini tepat dua bulan Sehun tertidur. Aku masih setia menunggunya diruang penuh bau obat ini. Menemani Sehun berjuang melawan maut. Tepat hari ini adalah malam ulang tahun Sehun. Malam valentine adalah hari lahir Sehun. Tahun lalu, aku merayakan ulang tahun Sehun dengan tiup lilin dan makan biscuit kesukaan Sehun. Perayaan kecil-kecilan kuadakan untuk umur baru Sehun saat itu. Sebuah kado kaos bergambar pororo menjadi kado yang kebelikan untuknya.
“Saengil chukka hamnika Oh Sehun,”aku mewakili Sehun meniup sebuah lilin kecil yang menancap disebuah kue muffin. 
“Tuhan, aku mohon tarik ucapanku. Aku mau Sehun bangun. Aku sudah kehilangan ibu dan ayah, aku tidak mau kehilangan Sehun. Sehun yang aku punya sekarang, tolong jangan ambil Sehun sebelum aku bisa membahagiakannya. Sehun sudah kuanggap saudaraku sendiri. Aku janji tidak akan membentaknya lagi. Aku janji akan membersihkan remahan biscuit dan tumpahan susunya dikarpet tanpa mengeluh. Aku janji akan rutin mengantar Sehun terapi setiap bulan.”


*** 


Aku membuka mata dan melihat Sehun tenga asik menggambar didinding kamar tamu dengan krayonnya. Ia tampak menggunakan kaos pororonya. Aku sama sekali tidak marah. Aku mengusap rambutnya lembut dan meihat gambaran Sehun. Ia menggambar seorang dengan sayap dan tertera nama Sehun dibawahnya. Aku bingung dengan gambaran Sehun hingga sebuah sinar membuat mataku silau.


*** 


Aku terbangun dan mendapati sebuah selimut putih menutupi muka Sehun. Dokter dan dua orang suster sibuk mencabut infuse yang ada ditangan Sehun. Aku bingung sekaligus kalut. Kuhalangi suster mencabut infus Sehun diiringi tetesan air mata.
“Andwae! Kalian tidak boleh mencabut infus Sehun!”aku berteriak, tidak peduli seorang suster lainnya menghalangiku.
“Tuan Luhan tenanglah. Tuang Sehun sudah tenang dialam sana,”perkataan dokter membuatku terduduk lemas dilantai rumah sakit. Air mata terus keluar dan tatap pilu ini hanya bisa menyaksikan suster mencabut infus dari tubuh Sehun yang kian mendingin.


*** 


Pembakaran abu Sehun dilaksanakan seminggu yang lalu. Tepat dihari ulang tahunku. Aku tidak ikut acara kremasi Sehun dan memilih berdiam diri dirumah. Memandangi setiap coretan krayon Sehun didinding ruang tamu. Seketika kedua mataku tertuju pada sebuah gambar dua orang denga nama “HunHan” dibawahnya. Terdapat sebuah garis yang menghubungkan kesebuah tulisan “Valltin HunHan” dengan gambar dua hati.
Air mataku kembali mengalir. Bukan karena sedih atas kepergian Sehun, aku sudah ikhlas Sehun pergi dan hidup damai disana. Aku terharu karena Sehun mengucapkan happy valentine melalui tulisan tersebut. Meskipun ia tidak terlalu lancar menulis, tapi aku bisa menangkap maksud Sehun melalui coretan krayon tersebut.
“Happy Valentine Hunhan,”ucapku sambil memandangi coretan Sehun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar