“Bu,
kenapa langit senja selalu tampak indah?”
“Karena ini senja di Borneo.”
***
Hari ini, aku bangun lebih pagi.
Melawan dinginnya semilir angin yang merasuk dan bergegas menuju tambak ikan.
Aku telah berjanji padanya untuk pergi menjaga tambak bersama.
“Tius, apa hari ini giliranmu yang
menjaga tambak?” tanyaku saat mendapati Tius tengah duduk-duduk dipinggir
tambak.
“Iya, Bu…” jawabnya singkat.
Matius atau yang akrab dipanggil
Tius adalah anak dari orangtua asuhku selama di Kalimantan. Ya, aku sedang
menjalankan tugas sebagai asisten konsultan sebuah perusahaan yang bergerak
dibidang kehutanan. Dua bulan lalu, saat pertama kali aku menginjakkan kaki di
Desa Labuangkalo, Tius adalah orang pertama yang membantuku untuk membawa
ransel dan barang bawaan lainnya.
Tius, bocah kecil dengan kulit
coklat tersengat sinar matahari ini, kini menatap kosong hamparan air tambak
didepannya. Tak biasanya ia seperti ini.
“Tius, kamu kenapa?” tanyaku
penasaran.
“Pak Guru Saidi pulang ke Jawa.
Tidak ada lagi guru disekolah kami, Bu.” ucapnya pelan.
“Pak Guru Saidi?”
“…” Tius hanya menatapku tanpa ucap.
***
Pak Guru Saidi adalah satu-satunya
guru yang mengajar di Sekolah Darurat Desa Labuangkalo. Aku berkenalan
dengannya saat meneliti keadaan hutan Desa Labuangkalo, tepat dibelakang
Sekolah Darurat. Menurut Tius, Pak Guru Saidi sudah mengajar di Sekolah Darurat
jauh sebelum aku datang kesini.
“Pak Guru Saidi orang pertama
yang mengajari saya membaca, Bu. Kalau
Pak Guru Saidi pulang ke Jawa, siapa yang akan mengajari saya dan teman-teman
membaca dan menghitung?” ucapTius polos.
Dari tatapan mata Tius, aku mampu
menangkap semangatnya untuk belajar yang besar. Apalagi setiap hari, kulihat
Tius rajin memanaskan setrika arang. Ia menggosokkan setrika arang ke seragam
kumalnya dengan deru nafas penuh semangat.
“Tius, mau kemana? Kok pagi-pagi
sudah menggosok kemeja?” tanyaku saat pertama kali aku melihatnya menggosok
baju
“Sekolah, Bu!” jawab Tius antusias.
***
“Bu, apa Jawa begitu jauh dari
sini?” tanya Tius tiba-tiba.
“Iya. Total perjalanan empat hari
jika ditempuh naik kapal. Tius mau ke Jawa?”
Tius cepat-cepat menggeleng.
“Trus, kenapa Tius bertanya seperti
itu?”
“Tius hanya ingin tahu berapa lama
perjalanan Pak Guru Saidi jika ingin kembali dari Jawa kesini,” perkataan Tius
ini sukses membuatku berlinang air mata.
Lewat ucapan Tius tadi, tersirat
bahwa ia masih mau belajar di Sekolah Darurat itu. Namun apa daya, aku tidak
bisa melakukan apa-apa. Aku yang selama tujuh jam dalam sehari harus masuk
hutan untuk penelitian, tidak sanggup untuk mengajari Tius dan sekitar lima
belas anak lainnya untuk belajar di Sekolah Darurat. Aku hanya bisa mengajari
Tius saat malam hari, dengan penerangan lampu teplok tentunya.
***
“Maaf, bisa minta tolong tunjukkan
rumah Bapak Kepala Desa?” tanya seorang pria berkacamata pada Tius dipinggir
tambak.
“Bapak Kepala Desa? Pak Iro?”tanya
Tius balik.
Aku yang tengah membantu Tius
menebar pakan ikan, berjalan mendekati pria itu.
“Maaf, cari siapa?” tanyaku sopan.
“Saya mencari Bapak Kepala Desa
Labuangkalo. Kata Pak Saidi saya harus minta izin dulu dari beliau jika ingin
tinggal didesa ini,” terang pria itu.
“Pak Guru Saidi?” reaksi Tius saat
mendengar nama orang yang telah pulang ke Jawa beberapa bulan lalu itu.
“Iya, Pak Saidi. Saya datang kemari
untuk menggantikan Pak Saidi mengajar di Sekolah Darurat.”
Tanpa banyak cakap, Tius menarik
tangan pria itu. Membawanya menuju rumah Pak Kepala Desa yang terletak tidak
jauh dari tambak ikan.
***
Prasada. Seorang fresh graduate jurusan Pendidikan Guru
Sekolah Dasar salah satu universitas negeri di Semarang, kini menjadi guru di
Sekolah Darurat. Pras, begitu ia kupanggil, merupakan keponakan dari Pak Saidi.
“Om Saidi pulang karena istrinya
sakit-sakitan. Untuk itu, saya yang menggantikan beliau untuk melanjutkan
mengajar disini,” ucap Pras saat aku menanyakan alasan Pak Guru Saidi pulang ke
Jawa.
“Hebat. Jarang sekali ada yang mau
mengorbankan waktunya untuk sedikit berbagi ilmu diranah luar Jawa,” kataku
sambil mengacungkan jempol untuk Pras.
“Kalau kamu, kenapa bisa sampai
Labuangkalo? Ditugaskan jadi guru bantuan juga?”kini Pras yang menanyaiku.
Aku menggeleng.
“Saya melakukan penelitian di hutan
Desa Labuangkalo,”jawabku singkat. Terlampau singkat bahkan. Mungkin karena
Pras merupakan orang baru, aku hanya membuka sedikit celah pertanyaan yang
lebih lanjut dengannya.
***
“Pak, hutan dibelakang Sekolah
Darurat kebakaran!”teriakku panik pada Pak Iro, Kepala Desa Labuangkalo.
“Tidak apa-apa, Bu Arum. Tenang saja,”jawab
Pak Iro dengan nada santai.
“Tenang saja? Apinya bisa menyebar,
Pak!”aku semakin kalut.
Bagaimana mungkin
seorang Kepala Desa bisa setenang itu melihat hutan didaerahnya terbakar
seperti ini?
“Pak!”aku
semakin panik.
“Bu
Arum, hutan ini sengaja dibakar untuk membuka lahan tambak baru,”ucap Pak Iro
enteng.
“Ha?”aku tak percaya akan apa
yang dikatakan Pak Iro.
***
Aku baru mengetahui kebiasaan
masyarakat Desa Labuangkalo, yaitu membakar hutan untuk membuka lahan tambak
dari Pras. Ia mengatakan bahwa itu sudah menjadi hal yang biasa, menebang hutan
dan membuka lahan tamba baru.
“Sudah berapa lama kamu penelitian
disini?” ejek Pras saat aku kaget mendengar penjelasannya tentang pembakaran
hutan tadi.
“Tapi
apakah mereka tidak tahu bahaya dari pembakaran hutan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar