DO NOT COPY
ALLAH KNOW EVERYTHING YOU DO
RCL^^
Skutermatik
Idaman
“Pelayan!!!!Mana
sarapan untukku!!!”teriakku dari dalam kamar. 5 menit, 10 menit, dan setengah
jam sudah aku menunggu sarapanku diantarkan kekamarku. Aku kesal sekali. Karena
tak tahan lagi akupun berteriak lebih keras lagi.
“Pelayan!!!!!”
“Pelaaaaa….Uhuk
uhuk,” teriakanku terhenti karena ada seseorang yang mengguyurku dengan
segayung air.
“Pelayan
mbahmu! Ayo bangun!”kata Ibuku dengan nada super tingginya.
Setelah mengucek-ucek mata
sebentar, aku baru sadar bahwa tadi aku hanya mimpi. Yah, meskipun hanya mimpi
aku tetap bersyukur bisa merasakan enaknya jadi orang kaya. Tak mungkin dengan
enaknya bangun tidur teriak-teriak minta sarapan. Bisa-bisa aku diguyur Ibuku
dengan seember air comberan. Aku adalah seorang pemuda miskin yang tinggal
dengan Ibunya diperkampungan padat penduduk sekitar Kali Code, Jogjakarta.
Pernah melihat film Jagad Kali Code belum? Nah, disekitar sanalah aku tinggal. Walaupun
sekarang aku sudah tidak mempunyai seorang ayah, tetapi aku tetap semangat
menjalani hari-hari bersama Ibuku tercinta yang sehari-hari bekerja sebagai
tukang cuci.
Setelah mandi dan berpakaian
rapi, aku berpamitan untuk pergi kesekolah. Aku sengaja berangkat terlambat
karena sedang ada masalah dengan teman sebangkuku disekolah. Disekolahku tidak
ada system pen-skoran seperti disekola-sekolah lain. Apabila ada siswa yang
datang terlambat, maka ia diharuskan untuk menbantu penjaga sekolah untuk
membersihkan seluruh ruang kelas sepulang sekolah. Hal itu sudah biasa
kulakukan karena aku sering terlambat masuk sekolah. Aku memang dikenal sebagai
anak bandel disekolah. Sering terlambat, membuat ulah, dan sering berkelahi.
Tetapi, didalam kamus hidupku tidak ada kata membolos. Aku bandel tetapi pintar.
Bukannya bermaksud sombong, tetapi memang begitulah adanya. Bagiku, bandel
harus dimbangi dengan prestasi sekolah yang gemilang. Apabila bandel dan
berotak kosong, itu sama artinya tidak tahu terima kasih dengan orangtua yang
sudah susah payah membiayai sekolah kita.
“Yo,
udahan dong marahnya. Masak ngambek ampe seminggu?”rengek Deta.
Aku tak menjawab.
“Yo,
denger nggak sih aku ngomong! Terserah deh kamu maunya gimana. Pokoknya aku
udah minta maaf!”bentak Deta.
“Iya.
Udah tak maafin,”jawabku dengan gaya khas orang Jogja tulen.
Seketika senyum mengembang
dibibir sahabatku itu.
“Aku
janji deh, nggak bakal bolos lagi!”kata Deta dengan semangat.
Sudah seminggu ini aku marah
sama Deta karena sekitar seminggu yang lalu,ia bolos sekolah dengan alasan yang
tidak masuk akal.
“Tabungan
kamu udah berapa, Yo?”
“Belum
nyampe 5. Kemarin sih, harusnya udah 5 juta lebih, tapi dipake ama Ibu buat
bayar utang,”kataku lesu.
Yah, aku memang sedang
giat-giatnya menabung untuk membeli motor matik idaman. Aku kasihan melihat Ibu
yang sehari-hari mengayuh sepeda puluhan kilo untuk mengantar baju cucian.
Selain bersekolah, aku mempunyai
pekerjaan sambilan sebagai creator designer disalah satu distro diJogja.
Walaupun masih amatiran, tetapi hasilnya lumayan besar untuk penghasilan
seorang siswa SMA sepertiku. Dan, sudah 2 tahun ini aku menabung demi Mootor
matik idaman.
“Oh,
nanti kalo udah nyampe 10jutaan aku tambahi juga nggak apa,”kata Deta.
Deta memang seorang anak pejabat
teras yang cukup terkenal seantero Jogja.
“Ah,
nggak usah , Det! Aku mau beli pake uangku sendiri. Biar Ibu bangga sama
anaknya ini,”kataku sok.
Teeettt….Teeettt….
Tanda berakhirnya pelajaran
berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar kelas untuk segera pulang. Hari itu
hari Sabtu. Kebanyakan dari mereka sudah mempunyai rencana untuk
bermalammingguan dengan pasangan masing-masing. Namun, untuk seorang pemuda
miskin sepertiku, rasanya tak mungkin. Pulang sekolah, aku membantu Ibu mencuci
setumpuk baju yang lusa harus sudah ada ditangan pelanggan dengan rapi.
Sorenya, aku melesat perlahan dengan sepeda kesayangan menuju distro tempat aku
bekerja. Disana tugasku lumayan gampang. Hanya menggambar desain kaos dan
jaket. Untuk setiap desain kaos aku mendapat upah 100ribu dan 115ribu nuntuk
setiap desain jaket. Itu masih ditambah bonus apabila kaos atau jaket buah
karyaku terjual lebih dari 50 buah.
Hari itu aku pulang larut malam.
Tetapi suasana Jogja masih ramai. Saat akan menyebrang jalan, tiba-tiba semuanya
berubah menjadi gelap.
Gelap, gelap, dan gelap. Tidak
ada cahaya sama sekali. Aku berteriak sekuat tenaga, namun tidak seorangpun
menjawab. Tiba-tiba ada secercah cahaya putih. Tanpa ragu, akupun mengikutinya.
Tetapi, semakin kuat aku berlari, semakin cepat pula cahaya putih itu
menghilang.
Samar-samar
aku mendengar suara orang menangis. Aku mencoba untuk membuka mata, tetapi
rasanya berat sekali. Akhirnya, aku bisa membuka kedua mataku. Dihadapanku,
Deta dan Ibuku tengah berpelukan sambil menangis. Bau obat-obatan sangat
menyengat. Akupun tersadar, bahwa aku sedang berada dirumah sakit.
“Bu,
lihat. Pio udah sadar! Yo, Pio! Bangun, Yo!”kata Deta sambil terisak.
“Pio.
Bangun, nak! Ibu ada disini,”Kata Ibuku dengan terisak pula.
“Pio
ada dimana,bu? Pio kenapa?”kataku dengan terbata-bata.
Setelah
beberapa hari dirawat dirumah sakit, aku akhirnya diizinkan pulang.
Kepulanganku dari rumah sakit banyak orang yang menyambut. Mulai dari tetangga,
teman-teman sekolah, teman-teman distro, guru-guru, sampai beberapa orang yang
dulu pernah aku ajak berkelahi datang kerumah. Rumahku yang sempit semakin
sempit dengan hadirnya mereka. Tetapi aku bahagia. Masih ada yang perhatian
denganku.
“Kamu
habis kecelakaan, Yo. Dan setelah itu, kamu koma selama lima hari. Kata dokter,
kalo 24jam lagi kamu belum sadar…..”Deta tidak melanjutkan penjelasannya.
“Kamu
bakal bablas, Yo.”sambung Igit. Anak kampung sebelah yang dulu pernah aku ajak
berkelahi.
“Tau,nggak?Kamu
pernah kehilangan detak jantung selama beberapa menit. Dokter berusaha dengan
sekuat tenaga agar kamu tetap hidup.”kata Pak Doni, seorang yang menerimaku
bekerja didistronya.
Aku speechless.
“
Sejak hari kedua kamu koma, kami udah menggalang dana untuk biaya rumah
sakitmu. Dan diluar dugaan, hasilnya melebihi target.”Kata Ayu. Ketua kelasku
yang dulu pernah aku buat nangis waktu SD.
“Dan,
yang nabrak kamu waktu itu adalah Papaku. Maafin Papaku ya, Yo! Papa jadi
ngerasa bersalah waktu tau kamu koma.”Kata Deta lebih pelan daripada biasanya.
“Ah,
nggak apa, Det. Yang penting aku udah sembuh. Udah, jangan nangis gitu.”kataku
sambil mengusap air mata Deta yang terus membanjiri pipinya yang gembul.
“Dan,
sebagai tanda permintaan saya, Saya bersedia membantu anda untuk membeli sebuah
motor matik idaman,”kata seseorang dari balik pintu kamar. Orang itu adalah Pak
Bambang, ayahnya Deta.
Aku dengan mantap menolak
tawaran Ayah Deta dengan sopan, walaupun aku ingin sekali memiliki motor matik
itu.
“Mohon
maaf, Pak. Bukannya saya tidak mau. Tapi saya sudah bertekat untuk membeli
motor matik idaman saya dengan uang hasil jerih payah saya sendiri,”jawabku
dengan pelan-pelan dan hati-hati.
“Wah,
gimana ini. Saya sudah terlanjur memegang kunci motor dan STNK dengan nama
Alfio Nugraha,”kata Ayah Deta dengan nada sedikit sombong.
“Hah?
Yang bener, pak?”kataku dengan semangat sambil berdiri menghampiri Ayah Deta.
Semuanya tertawa melihat
tingkahku yang aneh itu. Aku tidak terlalu mempedulikan mereka.
Lalu, semua orang yang ada
dikamar bernyanyi sebuah lagu yang begitu aku sukai.
“Kamuuuuuu……terlihat paling
cakep. Dengan skutermatik yang menawan, dengan gaya klasik zaman sekarang,”
sebuah lagu merdu berjudul Skutermatik dari band idolaku mengawali lembaran
hidupku yang baru bersama Ibuku tercinta, teman-teman, dan motor matik baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar