Rafa
Namanya
Rafa. Rafael Janitra lebih lengkapnya. Sosok laki-laki berusia dua tahun lebih
tua dariku itu tinggal diujung gang. Rumah dua lantai dengan atap genteng warna
merah, banyak tidak dianggap oleh masyarakat sekitar, begitupula dengan
penghuninya.
Rafa, orang-orang memanggilnya
demikian. Sosoknya yang aneh dan kadang berubah-ubah. Kata orang Rafa adalah
mantan narapidana narkoba yan ditinggal mati kedua orangtuanya. Versi lain
menyebutkan Rafa adalah pemuda dengan gangguan jiwa yang sengaja diasingkan
oleh pihak keluarganya.
Rafa, menurutku dia pemuda unik.
Semenjak kepindahanku ke kota ini dua tahun yang lalu, aku mengenalnya secara
berbeda. Hampir setiap hari aku mengunjungi rumah diujung gang tersebut untuk
berbincang dengannya ataupun sekedar mampir.
***
“Rafa, hari ini jualan
nasi originiku terjual habis. Seharusnya kusisakan satu untukmu,”ucapku saat
aku mampir diberanda rumahnya.
“Rafa sedang tidur. Ini
Dio. Kau tidak lihat, aku sedang minum kopi?”sentak Rafa sambil menyodorkan
segelas kopi yang masih mengepul asapnya kearahku.
“Oh, bilang ke Rafa
kalau aku tadi mampir,”aku tersenyum sembari memandangi Rafa yang tengah
menikmati kopinya.
***
Tidak banyak yang mengetahui bahwa
Rafa mengidap suatu syndrome langka. GID Syndrome adalah suatu kelainan
dimana seseorang mempunyai lebih dari satu kepribadian. Aku mengetahui bahwa
Rafa mengidap syndrome ini belum
lama. Sekitar lima bulan yang lalu aku baru memahami kondisi Rafa saat kakak
tingkatku melakukan penelitian terhadap jenis syndrome ini dikampus.
Rafa mengidap GID Syndrome, ia mempunyai tiga kepribadian yang berbeda. Ada saat dimana
ia menjadi pemuda pendiam dan gemar menghabiskan waktunya didepan komputer, pemuda
yang coffee addict yang bekerja sebagai seorang barista disalah satu
coffee shop, serta pemuda anggun yang gemar merawat bunga dan tanaman perdu
dikebun belakang rumanhya.
“Kau mau bertemu Dio?
Hari ini dia sedang istirahat. Mungkin dia kecapekan habis pulang kerja,”ucap
Rafa lemah lembut saat aku mengunjungi kebun belakang rumahnya.
***
Rafa, pemuda pendiam yang lebih suka
menghabiskan waktunya didepan komputer adalah sosok yang menarik bagiku. Ia
menjadi kepribadian utama. Suatu hari Rafa pernah berkata kepadaku tentang tiga
kepribadian yang ia miliki.
“Aku benci keluar rumah.
Setiap keluar rumah, tatapan mata orang-orang selalu mengintimidasiku. Mereka
selalu men-judge- orang sesuka hati mereka. Mereka tidak pernah tahu apa yag
sebenernya aku rasakan selama ini. Aku tidak gila. IQ-ku normal dan aku mampu
mengoperasika komputer selayaknya orang biasa,”tuturnya pelan.
“Aku beri tahu ya, ada
dua orang lagi yang mendiami tubuhku. Dio dan Dimas namanya. Kau tahu persis
aku sangat benci kopi, tapi tiga hari dalam seminggu aku menerima job sebagai
barista di coffee shop. Itu sebenarnya bukan aku. Itu Dio. Dia seorang coffee
addict sedangkan aku seorang coffee phobia”Rafa menghela nafas panjang.
“Kau juga sering
melihatku tengah sibuk menata bunga-bunga dikebun belakang, kan? Itu sebenarnya
Dimas, bukan aku. Kau tahu kenapa Pak Sugeng amat kesal setiap melihatku? Itu karena Dimas pernah memaki anak Pak
Sugeng gara-gara ia mencabuti bunga-bunga yang ditanam Dimas. Kau boleh
menganggap aku gila sekarang. Yang penting aku sudah menceritakan semuanya
padamu,”Rafa memalingkan wajahnya ke jendela, menatap rintik hujan.
***
Aku sangat penasaran dengan syndrome langka yang diidap oleh Rafa.
Karenanya aku ikut bergabung dengan beberapa kakak tingkat dikampus untuk
membantu penelitian tentang Rafa. Tiga bulan lamanya penelitian tentang GID syndrome dilakukan. Hasilnya, Rafa
positif normal dan jauh dari kata “gangguan jiwa”. Hal itu dibuktikan dengan
dengan beberapa tes yang dilakukan, mulai dari tes IQ, tes mengerjakan beberapa
soal aritmatika dan serangkaian tes lainnya.
***
Rafa,
pemuda dengan tiga kepribadian itu masih tinggal seorang diri dikota kecil ini.
Bekerja sebagai seorang barista kopi untuk menyambung hidup dan terkadang
menerima service software komputer
dari tetangga yang tentu saja tidak menganggapnya “aneh”.
Aku
menganggap Rafa adalah satu. Terlepas dari kepribadian Dio maupun Dimas yang
terkadang sempat membuatku bingung. Rafa yang dua tahun lalu kutemui tengah
asik dengan laptopnya di salah satu coffee
shop, sekarang duduk dihadapanku. Mengenakan setelan kemeja biru tua dipadu
dengan blazer hitam membuatnya sangat
menawan.
Kami
duduk disalah satu sofa sebuah café. Dua cangkir green tea latte menemani
acara “ngopi” kami sore itu. Satu hal yang membuatku terbang kelanngit ketujuh
adalah ucapan Rafa.
“Seharusnya aku pesan secangkir black tea tadi. Green tea latte ini membuatku semakin tertohok kemanisan,
apalagi setelah kamu membuka pintu café tadi,”ucap Rafa pelan.
***
Ya, aku dan Rafa sepakat mengikat
tali kasih semenjak penelitian tentang GID
Syndrome berakhir. Tidak peduli apakah Rafa, Dio, ataupun Dimas yang
menyatakan perasaannya kepadaku saat itu. Yang terpenting Rafa Janitra, pemuda
dengan tiga kepribadian yang kini tengah menyesap green tea latte-nya, kini telah menjadi tambatan hatiku. Rafa telah
menanamkan keistimewaan cinta untukku, dan aku mencoba untuk menguatkan akar
cintaku untuk keistimewaan tiga pribadi Rafa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar