Selasa, 31 Desember 2013

Rafa

Rafa



Namanya Rafa. Rafael Janitra lebih lengkapnya. Sosok laki-laki berusia dua tahun lebih tua dariku itu tinggal diujung gang. Rumah dua lantai dengan atap genteng warna merah, banyak tidak dianggap oleh masyarakat sekitar, begitupula dengan penghuninya.
            Rafa, orang-orang memanggilnya demikian. Sosoknya yang aneh dan kadang berubah-ubah. Kata orang Rafa adalah mantan narapidana narkoba yan ditinggal mati kedua orangtuanya. Versi lain menyebutkan Rafa adalah pemuda dengan gangguan jiwa yang sengaja diasingkan oleh pihak keluarganya.
            Rafa, menurutku dia pemuda unik. Semenjak kepindahanku ke kota ini dua tahun yang lalu, aku mengenalnya secara berbeda. Hampir setiap hari aku mengunjungi rumah diujung gang tersebut untuk berbincang dengannya ataupun sekedar mampir.

***


                        “Rafa, hari ini jualan nasi originiku terjual habis. Seharusnya kusisakan satu untukmu,”ucapku saat aku mampir diberanda rumahnya.
                        “Rafa sedang tidur. Ini Dio. Kau tidak lihat, aku sedang minum kopi?”sentak Rafa sambil menyodorkan segelas kopi yang masih mengepul asapnya kearahku.
                        “Oh, bilang ke Rafa kalau aku tadi mampir,”aku tersenyum sembari memandangi Rafa yang tengah menikmati kopinya.

***

            Tidak banyak yang mengetahui bahwa Rafa mengidap suatu syndrome langka. GID Syndrome adalah suatu kelainan dimana seseorang mempunyai lebih dari satu kepribadian. Aku mengetahui bahwa Rafa mengidap syndrome ini belum lama. Sekitar lima bulan yang lalu aku baru memahami kondisi Rafa saat kakak tingkatku melakukan penelitian terhadap jenis syndrome ini dikampus.
            Rafa mengidap GID Syndrome, ia mempunyai tiga kepribadian yang berbeda. Ada saat dimana ia menjadi pemuda pendiam dan gemar menghabiskan waktunya didepan komputer, pemuda yang coffee addict yang  bekerja sebagai seorang barista disalah satu coffee shop, serta pemuda anggun yang gemar merawat bunga dan tanaman perdu dikebun belakang rumanhya.
                        “Kau mau bertemu Dio? Hari ini dia sedang istirahat. Mungkin dia kecapekan habis pulang kerja,”ucap Rafa lemah lembut saat aku mengunjungi kebun belakang rumahnya.

***

            Rafa, pemuda pendiam yang lebih suka menghabiskan waktunya didepan komputer adalah sosok yang menarik bagiku. Ia menjadi kepribadian utama. Suatu hari Rafa pernah berkata kepadaku tentang tiga kepribadian yang ia miliki.
                        “Aku benci keluar rumah. Setiap keluar rumah, tatapan mata orang-orang selalu mengintimidasiku. Mereka selalu men-judge- orang sesuka hati mereka. Mereka tidak pernah tahu apa yag sebenernya aku rasakan selama ini. Aku tidak gila. IQ-ku normal dan aku mampu mengoperasika komputer selayaknya orang biasa,”tuturnya pelan.
                        “Aku beri tahu ya, ada dua orang lagi yang mendiami tubuhku. Dio dan Dimas namanya. Kau tahu persis aku sangat benci kopi, tapi tiga hari dalam seminggu aku menerima job sebagai barista di coffee shop. Itu sebenarnya bukan aku. Itu Dio. Dia seorang coffee addict sedangkan aku seorang coffee phobia”Rafa menghela nafas panjang.
                        “Kau juga sering melihatku tengah sibuk menata bunga-bunga dikebun belakang, kan? Itu sebenarnya Dimas, bukan aku. Kau tahu kenapa Pak Sugeng amat kesal setiap melihatku?  Itu karena Dimas pernah memaki anak Pak Sugeng gara-gara ia mencabuti bunga-bunga yang ditanam Dimas. Kau boleh menganggap aku gila sekarang. Yang penting aku sudah menceritakan semuanya padamu,”Rafa memalingkan wajahnya ke jendela, menatap rintik hujan.

***

            Aku sangat penasaran dengan syndrome langka yang diidap oleh Rafa. Karenanya aku ikut bergabung dengan beberapa kakak tingkat dikampus untuk membantu penelitian tentang Rafa. Tiga bulan lamanya penelitian tentang GID syndrome dilakukan. Hasilnya, Rafa positif normal dan jauh dari kata “gangguan jiwa”. Hal itu dibuktikan dengan dengan beberapa tes yang dilakukan, mulai dari tes IQ, tes mengerjakan beberapa soal aritmatika dan serangkaian tes lainnya.

***

Rafa, pemuda dengan tiga kepribadian itu masih tinggal seorang diri dikota kecil ini. Bekerja sebagai seorang barista kopi untuk menyambung hidup dan terkadang menerima service software komputer dari tetangga yang tentu saja tidak menganggapnya “aneh”.
Aku menganggap Rafa adalah satu. Terlepas dari kepribadian Dio maupun Dimas yang terkadang sempat membuatku bingung. Rafa yang dua tahun lalu kutemui tengah asik dengan laptopnya di salah satu coffee shop, sekarang duduk dihadapanku. Mengenakan setelan kemeja biru tua dipadu dengan blazer hitam membuatnya sangat menawan.
Kami duduk disalah satu sofa sebuah café. Dua cangkir green tea latte  menemani acara “ngopi” kami sore itu. Satu hal yang membuatku terbang kelanngit ketujuh adalah ucapan Rafa.
            “Seharusnya aku pesan secangkir  black tea tadi. Green tea latte  ini membuatku semakin tertohok kemanisan, apalagi setelah kamu membuka pintu café tadi,”ucap Rafa pelan.

***

            Ya, aku dan Rafa sepakat mengikat tali kasih semenjak penelitian tentang GID Syndrome berakhir. Tidak peduli apakah Rafa, Dio, ataupun Dimas yang menyatakan perasaannya kepadaku saat itu. Yang terpenting Rafa Janitra, pemuda dengan tiga kepribadian yang kini tengah menyesap green tea latte-nya, kini telah menjadi tambatan hatiku. Rafa telah menanamkan keistimewaan cinta untukku, dan aku mencoba untuk menguatkan akar cintaku untuk keistimewaan tiga pribadi Rafa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar